
Rektor Dwijendra Tanggapi Impor Beras di Indonesia
Rektor Dwijendra Tanggapi Impor Beras di Indonesia
Beberapa media mengungkapkan bahwa Gubernur Bali, I Wayan Koster tidak setuju impor beras termasuk ke Bali karena Bali surplus beras dan Indonesia memiliki potensi pertanian di setiap daerah sehingga tidak perlu mengimpor pangan. Yang lebih penting dilakukan adalah mengoptimalkan sektor pertanian khususnya usahatani padi di Bali untuk memberikan produktivitas yang meningkat, demikian disampaikan oleh Rektor Dwijendra University, Gede Sedana pagi tadi Selasa, 23 Mei 2023 di ruang kerjanya. Lahan-lahan sawah di Bali masih sangat produktif untuk dikelola, hanya memerlukan peningkatan penerapan teknologi budidaya padi yang semakin baik dan benar dan di sisi lain, pemerintah agar memberikan insentif kepada petani terkait dengan harga gabah di tingkat petani, imbuh Sedana.
Sedana yang juga Ketua HKTI Bali mengatakan bahwa kebijakan pemerintah untuk masih menyukai membuka impor beras sudah terasa sejak beberapa dekade sehingga diperlukan adanya antisipasi yang semakin serius untuk meningkatkan produksi beras dalam negeri. Swasembada beras yang telah diikrarkan beberapa waktu lalu (Agustus 2022) harus dipertanyakan kembali sehingga tidak dijadikan komoditas politik. Kebijakan impor beras jelas sangat tidak berpihak kepada petani dan inkonsisten dengan semangat revitalisasi pertanian. Petani sangat dirugikan dengan kebijakan tersebut karena akan merusak pasar beras di dalam negeri, sekaligus dapat menurunkan pendapatan petani. Apa yang terjadi sebenarnya dengan produksi beras di dalam negeri?, tanya Sedana.

Selain itu, Sedana menyebutkan bahwa terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh kita semua terutama para pengambil kebijakan, seperti pemerintah dan legislatif, seperti perhitungan atau data kondisi perberasan di Indonesia. Data tersebut agar terverifikasi menjadi data yang sesungguhnya atau riil mengingat data beras di BPS, Kementerian Pertanian dan Bulog sering berbeda. Data tersebut mencakup produksi dan konsumsi beras termasuk sentra-sentra produksi. Ini berarti juga bahwa di Indonesia perlu memiliki database perberasan yang memberikan informasi faktual mengenai produksi, produktivitas, dan konsumsi di setiap wilayah/daerah di Indonesia dan pada periode waktu tertentu. Ketiadaan database ini dapat memungkinkan terjadi kesalahan perhitungan, sehingga dengan mudah “diplintir” untuk segera melakukan impor beras, ungkap Sedana yang pernah menjadi Dekan Fakultas Pertanian, Dwijendra University.
Lebih lanjut, Sedana memberikan masukan berkenaan dengan impor beras yang berkelanjutan, dimana pemerintah sebaiknya dan wajib mampu meningkatkan produktivitas dan produksi padi nasional, yaitu dengan melakukan intensifikasi yang menerapkan GAP (Good Agricultural Practices) melalui penyuluhan dan pelatihan tentang usahatani padi. Peningkatan mutu intensifikasi uasahatani padi dengan menggunakan teknologi maju juga sangat dibutuhkan untuk semakin meningkatkan produktivitas lahan dan tanaman padi.Selain itu, dibutuhkan adanya upaya peningkatan dan pengembangan sistem serta usaha agribisnis berbasis usahatani padi. Di antaranya adalah pengembangan infrastruktur mendukung usahatani padi dan peningkatan akses petani terhadap sarana produksi dan sumber permodalan. Di samping itu juga, pemerintah perlu meningkatkan akses petani terhadap sarana pengolahan pasca panen dan pemasaran.
Sehubungan dengan pascapanen ini, sangat diperlukan adanya kebijakan yang implementatif khususnya mengenai pembelian gabah oleh pemerintah apakah melalui BULOG atau Perusahaan Umum Daerah dengan harga yang “sangat layak” bagi petani guna mendorong atau merangsang petani untuk berusahatani semakin intensif dan mampu meningkatkan pendapatan atau kesejahteraan para petani. Sementara itu, di sisi lain pemerintah wajib menjaga harga beras sehingga tidak merugikan konsumen termasuk petani itu sendiri, kata Sedana. (Maulin).
-------
Berita ini pernah terbit pada laman sunarpos.com