
Kearifan Lokal Bali Soma Ribek dan Hari Pangan
Kearifan Lokal Bali Soma Ribek dan Hari Pangan
Masyarakat Hindu Bali memiliki kekayaan budaya, nilai-nilai budaya dan tradisional yang sangat melimpah di dalam berbagai aspek kehidupan. Salah satu aspek tersebut adalah pertanian yang amat kental dengan nilai-nilai budayanya dengan filosofi Tri Hita Karana.
Budaya pertanian di Bali telah tumbuh dan berkembang sejak ribuan tahun yang lalu masih menjadi landasan dan pedoman masyarakat petani di dalam aktivitas pertaniannya, seperti pada lahan sawah. Nilai-nilai budaya pertanian di Bali merupakan warisan leluhur yang adi luhung atau kearifan lokal (local wisdom) yang senantiasa memperkaya pengelolaan pertanian meskipun telah didera oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kearifan lokal yang diterapkan saat ini yaitu setelah Hari Suci Saraswati adalah Soma Ribek yang merupakan salah satu hari suci umat Hindu di Bali, yaitu sehari seusai hari Banyu pinaruh. Soma Ribek ini jatuh setiap 210 hari atau 6 bulan calendar Bali, yaitu pada Soma (Senin) Pon wuku Sinta. Hubungannya dengan pertanian adalah Soma Ribek ini adalah hari pemujaan Sang Hyang Sri Amrta yang memiliki stana di Lumbung.
Di Bali, lumbung adalah tempat penyimpanan padi hasil panen para petani, sehingga pemujaan yang dilakukan kepada Dewi Sri untuk menghaturkan rasa syukur terhadap kesuburan tanah yang diberikan serta meberkatkan pangan, yaitu padi. Ketersediaan padi oleh para petani dan diwujudkan dalam suatu upacara Hindu pada saat Soma Ribek dapat dipandang sebagai Hari Pangan bagi masyarakat Bali.
Nilai budaya yang terkandung dalam Soma Ribek sebagai Hari Pangan seperti yang tertulis pada Lontar Sundarigama, yaitu: "ikang wang tan wenang anumbuk pari, angadol beras, katemah dening Bhatara Sri. Pakenania wenang ngastuti Sang Hyang Tri Pramana. Angisep sari tatwa adnyana, aje aturu ring rahinane." Secara harfiah diartikan bahwa manusia tidak diperkenankan untuk melakukan aktivitas menumbuk padi dan menjual beras pada saat Hari Soma Ribek, karena hari tersebut adalah hari pemujaan terhadap Dewi Sri. Bahkan segala aktivitas pertanian agar dihentikan sejenak.
​Dalam kaitannya dengan Hari Suci Saraswati, perayaan Soma Ribek dijadikan sebagai momen untuk memperkuat keteguhan hati dan pikiran bahwa ilmu pengetahuan yang telah diturunkan dan juga telah melalui pembersihan atau penyucian diri agar digunakan secara bijak dan sesuai dengan ajaran dharma untuk mewujudkan kemakmuran melalui penyediaan pangan. Pengetahuan tentang pertanian dalam arti luas dan berbagai aspek yang berkenaan dengan kemajuan pertanian harus semakin ditingkatkan kepada para petani dan kelompoknya (subak) melalui kegiatan-kegiatan seperti penyluhan, pelatihan dan pendampingan.
Penguatan kapasitas para petani diharapkan dapat selalu menjaga dan meningkatkan kemakmuran pangan melalui kegiatan usahataninya.
Oleh karena itu kearifan lokal Hari suci Soma Ribek agar dapat dijadikan suatu Gerakan Massal oleh pemerintah Bersama-sama dengan komponen masyarakat lainnya untuk membangkitkan kesadaran terhadap pentingnya pertanian dan pangan di dalam kehidupan masyarakat. Tanpa pertanian tidak aka nada pangan, dan tanpa pangan akan terjadi kelaparan. Dengan demikian, para petani harus selalu bersyukur dan berterima kasih ke hadapan Tuhan yang Mahaesa yang bermanifestasi sebagai Sang Hyang Tri Pramana atas karunianya dalam menyediakan pangan.
*) Dr. Ir. Gede Sedana, M.Sc.MMA., Rektor Dwijendra University, Ketua DPD HKTI Bali dan Ketua Perhepi Bali.
Berita ini pernah terbit pada laman atnews.id